Buat yang belum tahu, saat ini anak saya sudah tiga orang loh, hehehe 😄🙈. Sengaja nih saya katakan ini karena sampai saat ini masih ada yang mengira anak saya baru dua orang bahkan ada yang mengira anak saya baru Wahyu doang (tapi ini jarang sih, biasanya teman lama yang baru bertemu lagi). Anak ketiga saya lahir pada tanggal 9 Januari 2021 lalu.
Baca Juga: Selamat Datang Anakku, Zafran!
Tahun 2019, pada pertengahan bulan Mei, saat baru selesai mencuci, iseng-iseng saya melakukan testpack dan hasilnya sangat mencengangkan karena muncul dua garis merah di testpack itu. Segera saya beritahu suami sekaligus menanyakan langkah apa yang harus kami ambil terkait hal ini.
Jujur saja, saat itu saya belum siap untuk hamil lagi. Saya tidak pernah kepikiran bakalan hamil lagi sampai dua tahun kedepan karena kondisi kami memang tidak memungkinkan untuk saya hamil lagi. Usia Rayyan baru sebelas bulan dengan kondisi kesehatan yang kurang baik. Di usia itu, entah sudah berapa kali kami bolak balik opname di rumah sakit. Belum lagi, rasanya tidak enak hati bila saya mengajukan cuti melahirkan lagi, padahal baru beberapa bulan masuk kantor setelah sebelumnya cuti melahirkan Rayyan. Dan puncaknya, saya takut menjalani kehamilan di masa pandemi ini, berita-berita menyedihkan terkait ibu hamil yang ditolak rumah sakit saat hendak bersalin benar-benar membuat nyaliku ciut. Bagaimana bila saya mengalami hal serupa? Huhuhu membayangkannya saja sudah membuat bulu kuduk ini merinding 😭.
Baca JUga: Pengalaman Hamil & Melahirkan di Masa Pandemi Covid-19
Saya gamang sekaligus takut. Selain ketakutan yang saya tuliskan di atas, saya juga takut tidak bisa membagi perhatian pada Wahyu, Rayyan dan calon adiknya yang baru berusia beberapa minggu ini. Bukannya bahagia melihat dua garis merah di testpack, yang ada saya bingung dan gemetaran, namun suami menenangkan saya. Sambil tersenyum ia berkata bahwa anak yang saya kandung itu juga buah cinta kami sama seperti Wahyu dan Rayyan yang wajib kami jaga dan berhak mendapatkan cinta kami.
Sambil memeluk saya, suami berbisik bahwa ia akan menjadi suami dan ayah siaga. Saya tidak perlu takut menjalani kehamilan ini karena ia akan selalu ada. Ia tidak akan membiarkan saya menanggung semuanya seorang diri. Mendengar bisikannya hati saya sedikit lebih tenang.
kebersamaan suami & anak-anak ❤️ |
Saya menjalani kehamilan ketiga ini dengan "senyap". Selain saya dan suami, tidak ada orang lain yang tahu perihal kehamilan ini. Hanya suami tempat saya berbagi hal seperti "mabok parah" dan ujian trimester pertama yang sungguh tidak mudah.
Waktu terus berjalan dan perlahan-lahan mulai ada yang menyadari kehamilan saya. Orang lain yang pertama kali tahu perihal kehamilan ini adalah ibu mertua. Mungkin beliau curiga, setiap hari selalu melihat tumpukan tissu di tempat sampah bekas saya membuang ludah (saat hamil, produksi air liur saya meningkat) dan beberapaa waktu belakangan saya suka pilih-pilih makanan. Beliau langsung bertanya pada suami dan suami mengiyakan.
Mama dan rekan-rekan di kantor baru tahu kehamilan saya saat usia kandungan saya sudah masuk minggu ke-22 saat besarnya perut sudah tidak bisa disembunyikan lagi, hahaha 😄. Dan hanya mereka-mereka inilah (yang sering berinteraksi dengan saya) yang tahu perihal kehamilan saya. Teman-teman yang jarang ketemu baru tahu saya hamil/punya anak lagi saat saya posting foto bayi saya di instagram beberapa hari usai kelahirannya.
Lalu bagaimana rasanya menjalani kehamilan yang tidak direncanakan dengan jarak yang sangat mepet ini? Hmmm rasanya nano-nano. Selain ketakutan, yang tidak bisa disembunyikan adalah rasa lelah. Setiap hari saya harus bolak-balik rumah kantor (dan sebaliknya) dengan menumpang mobil dan boat, pulang ke rumah masih harus mengurus bayi yang hobby-nya begadang setiap malam. Energi saya hampir habis. Untunglah suami memenuhi janjinya. Saat jam menunjukkan pukul 9 malam, ia menyuruh saya tidur dan membangunkan saya pada pukul 4 pagi.
Seiring bertambahnya usia kandungan saya, suami melarang saya untuk bolak balik Baubau-Lakudo lagi. Suami meminta saya untuk tinggal di Baubau dan baru pulang ke Lakudo pada akhir pekan. Ini berarti kami kembali menjalani LDR seperti sebelum kelahiran Rayyan dulu. Saya keberatan karena memikirkan Rayyan. Siapa yang akan mengurusnya saat saya tidak ada? Tapi suami berhasil meyakinkan saya, ia dengan mantap berjanji bisa merawat Rayyan dibantu oleh ibu mertua.
Dan sejak saat itu, mulailah kami hidup terpisah. Kabar Rayyan saya tahu dari video call yang kami lakukan setiap hari. Untunglah perpisahan ini tidak berlangsung lama karena Alhamdulillah saya dinyatakan lolos CPNS di seleksi penerimaan CPNS tahun 2019 kemarin.
Baca Juga: Akhirnya Lolos CPNS 2019
Satu bulan setelah pengumunan lolos CPNS, saya mengajukan cuti melahirkan. HPL saya 14 Januari 2021 dan saya cuti melahirkan mulai tanggal 7 Desember 2020. Tidak seperti dua kehamilan sebelumnya, yang mana saya baru mengajukan cuti beberapa hari sebelum tanggal HPL, di kehamilan kali ini saya ajukan cuti jauh hari sebelum HPL. Pertimbangan saya adalah, sebentar lagi saya akan ajukan resign. Toh saya sudah dinyatakan lolos CPNS, saya tinggal menunggu penerimaan SK saja. Jadi lebih cepat saya cuti maka akan lebih baik karena bisa lebih cepat dekat lagi dengan Rayyan.
Saat mengajukan cuti, saya beritahu atasan di kantor bahwa mungkin tidak akan masuk kembali karena kemungkinan besar, saya akan mengajukan resign dalam masa cuti melahirkan. Atasan mengiyakan. Sedih rasanya saat menyampaikan hal itu, tapi bukankah lolos CPNS adalah mimpi saya agar bisa lebih dekat dengan keluarga?
Dan kehidupan baru pun dimulai. Sejak cuti, saya kembali tinggal bersama anak dan suami di Lakudo. Rasanya bahagia banget setiap hari bisa memeluk Rayyan dan Wahyu (juga papanya 😝). Sayangnya kebiasaan begadang Rayyan semakin parah. Hampir setiap malam ia tidak tidur dan saya pun ikut begadang dibuatnya. Akibatnya, tekanan darah saya menjadi sangat rendah hingga mata selalu berkunang-kunang setiap kali berjalan atau bangkit dari tempat tidur. Berpisah dengannya beberapa saat sebelumnya membuat saya merasa bersalah dan ingin menebusnya dengan membersamainya di setiap waktu. Walau suami sudah mengingatkan untuk istirahat, saya bergeming. Rasa bersalah saya terlalu besar. Belum lagi memikirkan saat adiknya lahir nanti, perhatian saya pastilah sudah tidak sebesar ini lagi. Pikiran itu membuat saya semakin sedih dan rasa bersalah semakin menjadi.
lihatlah wajah lelah itu 😁 |