Industri pertanian. Dua hari lalu, saat saya dan Wahyu sedang asyik bermain di ruang tivi, tiba-tiba terdengar suara pintu depan diketuk. Saat dibuka, ternyata yang datang adalah tetangga. Tujuan kedatangannya untuk meminta beberapa helai daun pandan yang tumbuh di pekarangan rumah kami.
Ya, di sekitar rumah mertua memang terdapat banyak tanaman. Tak hanya aneka bunga, banyak pohon buah-buahan yang bisa dengan mudah kita temukan di pekarangan rumah, mulai dari pohon kelapa, belimbing wuluh, sirkaya, sirsak, pisang, tebu, jeruk nipis, rambutan dan pepaya. Tak ketinggalan sayur-sayuran dan beberapa bumbu dapur seperti seledri, kunyit, jahe dan daun pandan. Masih ada pula umbi-umbian seperti keladi dan ubi jalar. Hampir lengkap yaa, mertua saya memang rajin bercocoktanam, beda banget dengan menantunya ini, hehehe
Banyak hal positif yang kami dapatkan dari kegiatan bercocoktanam di pekarangan ini. Selain rumah menjadi lebih sejuk karena panas matahari tak bisa langsung masuk ke dalam rumah, pengeluaran juga menjadi lebih hemat karena anggaran belanja untuk membeli sayur dan buah tak perlu dikeluarkan lagi jadi bisa dialokasikan untuk keperluan lain. Kelebihan lainnya adalah buah dan sayurnya juga jelas lebih sehat dan segar. Iya dong, hasil kebun sendiri.
pohon yang cukup rindang di depan rumah mertua |
Dan entah mengapa, kebiasaan mertua ini tiba-tiba mengingatkan saya pada kebiasaan Papa. Papa juga sangat suka berkebun. Saking sukanya, setelah pensiun, papa memutuskan untuk menjadi petani. Untuk mengisi hari-harinya, beliau menggarap sebidang tanah (milik orang) yang tak jauh dari rumah.
Pada sebidang tanah itu papa menanam beragam jenis sayur dan buah. Sejak papa berkebun, mama tak pernah lagi membeli sayur di pasar, yang terjadi justru sayur-sayuran dari kebun papa dibeli oleh pedagang sayur di pasar untuk kemudian dijual lagi. Adik-adik saya yang sedang kuliah di Kendari juga tak luput menikmati hasil kebun papa ini. Setiap bulan, mama selalu mengirimi mereka sekarung sayur dan buah via DAMRI
Banyak yang bilang tanah yang digarap papa itu bukanlah tanah yang
subur. Sudah ada beberapa orang sebelumnya yang bercocoktanam di situ
tapi tanamannya tak subur, makanya saat mereka mendengar papa
akan menggarap tanah itu, mereka ragu apakah bisa menghasilkan tanaman
yang subur. Dan papa berhasil mematahkan keraguan itu. Sayur dan buah
yang ditanam papa tumbuh subur dan lebat.
Saya sangat yakin dengan kemampuan papa bercocok tanam karena papa pernah bercerita bahwa sejak kecil beliau sudah sangat akrab dengan kegiatan tanam menanam ini. Ya, papa memang bukan orang baru dalam dunia pertanian ini. Ibunya (nenek) adalah seorang petani yang sebagian besar hidupnya dihabiskan di kebun. Sebagai anak bungsu yang sangat dekat dengan ibunya, papa jelas akrab dengan kebun dan sawah yang menjadi kesehariannya.
Saya ingat, waktu masih sekolah dasar, saya selalu mengajak teman-teman ke rumah untuk main masak-masakan. Yang kami masak adalah sayur dan umbi-umbian yang ditanam papa di kebun (kala itu di belakang rumah kami ada sebidang tanah kosong dan papa memanfaatkannya dengan menanam berbagai jenis umbi-umbian, kacang-kacangan, sayuran dan buah-buahan).
Saat musim jagung tiba, banyak tetangga dari Tolandona (kampung halaman mama) yang datang ke rumah kami untuk mengambil jagung dan labu (saat musim jagung, papa juga menanam labu). Hasil panen kebun papa melimpah ruah. Saya ingat, bila musim panen tiba, loteng dan bawah ranjang akan full dengan labu, jagung dan beberapa hasil kebun lainnya.
Ahhh, rasanya indah banget mengingat masa-masa itu. Seandainya saat ini papa masih ada, pasti hasil dari tanah yang digarapnya juga tak kalah banyak dari yang dulu. Apalagi sekarang industri pertanian semakin maju, saya yakin hasilnya pasti lebih baik. Hiks, jadi kangen papa nih.
Alfatihah buat Papa.