Sudah tiga bulan lamanya saya gak nulis artikel kolaborasi bersama teman-teman Blogger Sultra yang tergabung dalam Be Molulo. Hmmm, kangen juga ih, bila dihitung-hitung, ternyata sudah cukup lama saya gak eksis di grup kesayangan ini. Yap, karena rasa malas yang tak kunjung hilang, sampai hari ini sudah ada tiga utang tulisan pada sahabat-sahabat blogger dari Be Molulo yang belum saya lunasi yakni menanggapi tulisan trigger dari Ririn, Raya dan juga Dita.
Nah, berhubung hari ini mood nulis saya sedang muncul ke permukaan, saya berniat untuk melunasi satu dari tiga utang tersebut nih. Kali ini saya akan menanggapi trigger post yang diberikan oleh Raya yang berjudul My Child My Adventure.
Sesaat setelah membaca tulisan Raya, saya sempat bingung mau menulis petualangan apa nih? Rasa-rasanya selama ini hidup saya datar-datar saja deh, hehehe 😁. Setelah cukup lama berpikir akhirnya saya putuskan untuk menulis tentang tantangan yang saya hadapi sebagai seorang istri dan ibu bekerja yang tinggal berjauhan dari anak dan suami saja. Biar sekalian tjurhat gitu loh karena selama ini banyak yang mempertanyakan keputusan yang saya ambil ini.
Ya, sudah sejak lama saya dan suami menjalani long distance marriage. Bagi kami berdua, menjalani hubungan jarak jauh bukanlah hal baru karena sejak pacaran bertahun-tahun lalu kami sudah melakukannya. Kami sudah sangat terbiasa dengan hubungan yang bagi kebanyakan orang terasa sulit untuk dijalani ini.
Baca Juga: Tips Hemat & Mesra Untuk Pasangan LDR
Selain itu, sejak awal berkenalan tahun 2010 lalu memutuskan menikah pada tahun 2011, kami juga sepakat bahwa setelah menikah pak suami gak akan melarang saya berkarir. Beliau gak akan meminta saya berhenti bekerja kecuali saya sendiri yang sukarela melakukannya.
Awal-awal menikah hingga hamil anak pertama, kehidupan kami normal-normal saja, dalam artian sama seperti pasangan muda lainnya yang tinggal bersama, kami juga seperti itu, hanya saja kadang-kadang suami pulang ke Lakudo untuk mengajar (2 kali seminggu). Tantangan baru muncul setelah anak pertama kami, Wahyu, lahir.
Usai cuti melahirkan, kami mulai bingung. Siapa yang akan menjaga Wahyu saat saya ke kantor? Sempat terpikir untuk membawa serta Wahyu ke Baubau (setelah lahiran kami tinggal bersama mertua di Lakudo), namun niat itu saya batalkan saat menyadari di Baubau gak ada orang yang bisa kami mintai tolong untuk menjaga Wahyu selama saya dan suami bekerja.
Kami kemudian memutuskan untuk menitipkan Wahyu pada mami (ibu mertua) selama saya bekerja, kebetulan beliau memang ingin banget merawat Wahyu. Namun dengan mengambil keputusan itu berarti saya harus siap dengan segala konsekuensinya yaitu bolak balik rumah-kantor, kantor-rumah selama enam hari dalam seminggu dengan dua kali mengganti moda transportasi yakni angkot (kadang diantar suami menggunakan sepeda motor) dan boat atau kapal ferri. Fyi, Lakudo dan kota Baubau itu selain ditempuh dengan jalur darat, harus ditempuh juga lewat jalur laut.
Tantangan yang saya hadapi saat itu cukup berat karena selama tiga tahun, enam hari dalam seminggu saya harus pulang pergi rumah kantor (dan sebaliknya) dengan kondisi jalan yang rusak parah dan ombak laut yang kadang-kadang tak bersahabat.
Baca Juga: 3 Jenis Alat Transportasi Laut Yang Sering Saya Gunakan
Karena beratnya medan yang saya lalui setiap hari, saat usia Wahyu menginjak tiga tahun, saya dan suami sepakat untuk tinggal terpisah. Suami dan Wahyu tinggal bersama mertua di Lakudo sedangkan saya ngekost bareng adik di Baubau. Namun siapa yang menyangka, setelah memutuskan tinggal terpisah ternyata tantangan tak juga berkurang, malah makin bertambah 😪
Ini nih 3 tantangan utama yang harus saya hadapi pasca keputusan itu:
#Susah membendung rindu pada anak dan suami.
Tak bisa dipungkiri, keputusan hidup berjauhan membuat saya tak bisa bertemu anak dan suami setiap hari. Akibatnya rasa rindu kadang-kadang tak terbendung. Bila hal itu terjadi, yang saya lakukan adalah langsung pulang ke Lakudo dan kembali ke Baubau pada keesokan paginya, sedangkan bila rindu pada suami, biasanya suamilah yang datang menemui saya di Baubau.
Tantangan lain yang bikin hati perih adalah saat melihat Wahyu menangis melihat kepergian saya pada hari senin pagi. Setiap kali itu terjadi ingin rasanya saya bolos saja dari kantor 😭. Tapi syukurlah hal itu tak berlangsung lama karena seiring berjalannya waktu ia mulai mengerti, apalagi saat itu ia sudah masuk sekolah dan mulai sibuk dengan teman-temannya.
Sebagai gantinya, setiap akhir pekan saya dan Wahyu mengganti waktu yang terlewat itu dengan melakukan banyak kegiatan menyenangkan. Saya menemaninya melakukan kegiatan apapun yang ingin dilakukannya 🤗.
Baca Juga: 5 Kegiatan Yang Saya Lakukan Bersama Wahyu Saat Akhir Pekan
#Menjawab pertanyaan "kepo" dari banyak orang
Tantangan lain yang muncul adalah menghadapi pertanyaan "kepo" dari orang-orang yang merasa heran dengan keputusan yang kami ambil. "kok tega banget meninggalkan anak dan suami hanya untuk bekerja? Memangnya gaji suamimu gak cukup yaa?" atau "memang gajimu sebesar apa sih? hingga membuatmu tega berpisah dari anakmu?". Kira-kira pertanyaan-pertanyaan seperti itulah yang mereka lontarkan 😓.
Untuk yang satu ini saya cukup membalasnya dengan senyuman sambil sesekali berusaha menjelaskan alasan mengapa saya mengambil keputusan ini. Bila pertanyaan yang diajukan semakin jauh dan mulai menghakimi, maka saya memakai jurus "anjing menggongggong kafilah berlalu". Terserah meraka deh mau menilai saya seperti apa. Bebass. Bagi saya, restu suami dan orang-orang terdekat adalah yang paling penting. Toh mereka (orang-orang kepo itu) hanya melihat dari luarnya saja.
Baca Juga: Saya ibu bekerja yang tinggal berjauhan dari anak dan suami
#Uang belanja yang terbagi
Selain dua tantangan di atas, masih ada satu tantangan lagi yang harus kami hadapi yaitu terbaginya uang belanja. Ya, dengan memutuskan hidup terpisah, berarti ada dua kebutuhan rumah tangga yang harus dipenuhi.
Harus saya akui, pengeluaran kami memang lebih besar dari pengeluaran keluarga lain yang tinggal serumah, tapi semua itu harus kami terima, kan? Bukankah itu adalah konsekuensi yang harus kami tanggung atas keputusan yang kami ambil?
Baca Juga: Tentang Pengelolaan Keuangan keluarga
Itulah 3 tantangan utama yang saya rasakan saat memutuskan menjadi ibu bekerja yang tinggal jauh dari anak dan suami. Terasa berat sih, tapi Alhamdulillah sampai saat ini saya masih kuat menjalaninya. Hubungan saya dan suami juga baik-baik saja (Insyaallah seterusnya begitu, amiin), pun demikian dengan Wahyu, hubungan kami tetap dekat dan bonding kami sebagai ibu dan anak juga tetap kuat👩👦.
Wahyu ikut mama ke acara buka puasa bersama |
Sesaat setelah membaca tulisan Raya, saya sempat bingung mau menulis petualangan apa nih? Rasa-rasanya selama ini hidup saya datar-datar saja deh, hehehe 😁. Setelah cukup lama berpikir akhirnya saya putuskan untuk menulis tentang tantangan yang saya hadapi sebagai seorang istri dan ibu bekerja yang tinggal berjauhan dari anak dan suami saja. Biar sekalian tjurhat gitu loh karena selama ini banyak yang mempertanyakan keputusan yang saya ambil ini.
Ya, sudah sejak lama saya dan suami menjalani long distance marriage. Bagi kami berdua, menjalani hubungan jarak jauh bukanlah hal baru karena sejak pacaran bertahun-tahun lalu kami sudah melakukannya. Kami sudah sangat terbiasa dengan hubungan yang bagi kebanyakan orang terasa sulit untuk dijalani ini.
Baca Juga: Tips Hemat & Mesra Untuk Pasangan LDR
Selain itu, sejak awal berkenalan tahun 2010 lalu memutuskan menikah pada tahun 2011, kami juga sepakat bahwa setelah menikah pak suami gak akan melarang saya berkarir. Beliau gak akan meminta saya berhenti bekerja kecuali saya sendiri yang sukarela melakukannya.
saya ibu bekerja yang bahagia |
Usai cuti melahirkan, kami mulai bingung. Siapa yang akan menjaga Wahyu saat saya ke kantor? Sempat terpikir untuk membawa serta Wahyu ke Baubau (setelah lahiran kami tinggal bersama mertua di Lakudo), namun niat itu saya batalkan saat menyadari di Baubau gak ada orang yang bisa kami mintai tolong untuk menjaga Wahyu selama saya dan suami bekerja.
Kami kemudian memutuskan untuk menitipkan Wahyu pada mami (ibu mertua) selama saya bekerja, kebetulan beliau memang ingin banget merawat Wahyu. Namun dengan mengambil keputusan itu berarti saya harus siap dengan segala konsekuensinya yaitu bolak balik rumah-kantor, kantor-rumah selama enam hari dalam seminggu dengan dua kali mengganti moda transportasi yakni angkot (kadang diantar suami menggunakan sepeda motor) dan boat atau kapal ferri. Fyi, Lakudo dan kota Baubau itu selain ditempuh dengan jalur darat, harus ditempuh juga lewat jalur laut.
kondisi jalan yang harus saya lewati setiap hari |
Baca Juga: 3 Jenis Alat Transportasi Laut Yang Sering Saya Gunakan
Karena beratnya medan yang saya lalui setiap hari, saat usia Wahyu menginjak tiga tahun, saya dan suami sepakat untuk tinggal terpisah. Suami dan Wahyu tinggal bersama mertua di Lakudo sedangkan saya ngekost bareng adik di Baubau. Namun siapa yang menyangka, setelah memutuskan tinggal terpisah ternyata tantangan tak juga berkurang, malah makin bertambah 😪
Ini nih 3 tantangan utama yang harus saya hadapi pasca keputusan itu:
#Susah membendung rindu pada anak dan suami.
Tak bisa dipungkiri, keputusan hidup berjauhan membuat saya tak bisa bertemu anak dan suami setiap hari. Akibatnya rasa rindu kadang-kadang tak terbendung. Bila hal itu terjadi, yang saya lakukan adalah langsung pulang ke Lakudo dan kembali ke Baubau pada keesokan paginya, sedangkan bila rindu pada suami, biasanya suamilah yang datang menemui saya di Baubau.
Tantangan lain yang bikin hati perih adalah saat melihat Wahyu menangis melihat kepergian saya pada hari senin pagi. Setiap kali itu terjadi ingin rasanya saya bolos saja dari kantor 😭. Tapi syukurlah hal itu tak berlangsung lama karena seiring berjalannya waktu ia mulai mengerti, apalagi saat itu ia sudah masuk sekolah dan mulai sibuk dengan teman-temannya.
Sebagai gantinya, setiap akhir pekan saya dan Wahyu mengganti waktu yang terlewat itu dengan melakukan banyak kegiatan menyenangkan. Saya menemaninya melakukan kegiatan apapun yang ingin dilakukannya 🤗.
Baca Juga: 5 Kegiatan Yang Saya Lakukan Bersama Wahyu Saat Akhir Pekan
#Menjawab pertanyaan "kepo" dari banyak orang
Tantangan lain yang muncul adalah menghadapi pertanyaan "kepo" dari orang-orang yang merasa heran dengan keputusan yang kami ambil. "kok tega banget meninggalkan anak dan suami hanya untuk bekerja? Memangnya gaji suamimu gak cukup yaa?" atau "memang gajimu sebesar apa sih? hingga membuatmu tega berpisah dari anakmu?". Kira-kira pertanyaan-pertanyaan seperti itulah yang mereka lontarkan 😓.
Untuk yang satu ini saya cukup membalasnya dengan senyuman sambil sesekali berusaha menjelaskan alasan mengapa saya mengambil keputusan ini. Bila pertanyaan yang diajukan semakin jauh dan mulai menghakimi, maka saya memakai jurus "anjing menggongggong kafilah berlalu". Terserah meraka deh mau menilai saya seperti apa. Bebass. Bagi saya, restu suami dan orang-orang terdekat adalah yang paling penting. Toh mereka (orang-orang kepo itu) hanya melihat dari luarnya saja.
Baca Juga: Saya ibu bekerja yang tinggal berjauhan dari anak dan suami
#Uang belanja yang terbagi
Selain dua tantangan di atas, masih ada satu tantangan lagi yang harus kami hadapi yaitu terbaginya uang belanja. Ya, dengan memutuskan hidup terpisah, berarti ada dua kebutuhan rumah tangga yang harus dipenuhi.
Harus saya akui, pengeluaran kami memang lebih besar dari pengeluaran keluarga lain yang tinggal serumah, tapi semua itu harus kami terima, kan? Bukankah itu adalah konsekuensi yang harus kami tanggung atas keputusan yang kami ambil?
Baca Juga: Tentang Pengelolaan Keuangan keluarga
**
Itulah 3 tantangan utama yang saya rasakan saat memutuskan menjadi ibu bekerja yang tinggal jauh dari anak dan suami. Terasa berat sih, tapi Alhamdulillah sampai saat ini saya masih kuat menjalaninya. Hubungan saya dan suami juga baik-baik saja (Insyaallah seterusnya begitu, amiin), pun demikian dengan Wahyu, hubungan kami tetap dekat dan bonding kami sebagai ibu dan anak juga tetap kuat👩👦.
Demikian cerita saya tentang tantangan yang saya hadapi sebagai ibu bekerja yang memutuskan tinggal jauh dari anak dan suami. Maafkan bila keputusan yang saya ambil ini terlihat/dinilai anti mainstream bagi ibu-ibu lain di luar sana 🙏.
Disclaimer: Keputusan yang saya ambil ini mungkin bertentangan dengan keputusan banyak istri dan ibu lain di luar sana, jadi mohon untuk menghormati keputusan ini dan jangan menghakimi saya yaa, cukuplah di dunia nyata saja saya dihakimi, jangan lagi di dunia maya ini, hehehe✌️✌️